Iklan

Iklan

iklan

iklan
  • Berita Terkini

    Tuesday 7 July 2015

    Cimplung Singkong, Si Manis Yang Mulai Langka

    Oleh Akhmad Rifa’i Ma’ruf

    Cimplung Singkong menjadi salah satu kuliner khas Wonosobo yang patut menjadi destinasi wisata. Akan tetapi, saat ini eksistensi makanan manis ini mulai tergerus arus zaman.

    Kemiskinan menjadi satu hal yang selalu mengiringi sejarah perjalanan umat manusia tanpa membedakan ruang dan waktu. Bahkan dewasa ini, yang oleh sebagian orang disebut-sebut sebagai zaman kemajuan, tetap saja tidak ada yang mampu mengentaskan persoalan kemiskinan. Masih banyak masyarakat yang hidup digaris kemiskinan, bahkan sekadar untuk makan saja mengalami kesulitan.

    Apa yang terjadi saat ini tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dialami para pendahulu kita. Dahulu, orang yang bisa makan beras saja sudah dianggap sebagai orang kaya, karena memang dulu beras tergolong makanan mewah dan tidak semua orang bisa menikmatinya. Keadaan seperti itu memaksa mereka mencari makanan alternatif untuk bisa bertahan hidup, maka diolahlah singkong, ketela, kimpul, dan umbi-umbian lainnya.

    Karena faktor ekonomi, umbi-umbianpun menjadi menu pokok setiap hari. Namun ada kalanya kebiasaan makan umbi-umbian yang dimasak secara konvensional ini terasa membosankan, sehingga muncul ide-ide kreatif untuk membuat inovasi makanan yang berbahan dasar umbi-umbian, salah satunya adalah inovasi yang dilakukan oleh para petani pengrajin gula merah, mereka berkreasi membuat makanan dengan cara memasak umbi-umbian menggunakan air nira (bahan pembuatan gula merah), maka terciptalah satu makanan manis yang bernama cimplung, disebut cimplung karena dimasak dengan cara di-cemplung-kan (dimasukan). Dan dari beberapa jenis umbi bahan baku cimplung, ternyata singkonglah yang memiliki cita rasa paling menggoda, apalagi setelah digoreng.

    Sebenarnya singkong banyak ditemui di berbagai daerah, namun demikian menemukan makanan yang bernama cimplung bukanlah perkara mudah, sebab makanan tradisional ini hanya bisa dibuat oleh orang-orang yang bekerja sebagai penderes. Karena merekalah yang mempunyai nira untuk memasaknya.

    Istilah penderes adalah sebuah sebutan profesi yang dinisbahkan kepada satu alat yang biasa digunakan dalam menjalani pekerjaan tersebut, yaitu deres (semacam pisau besar). Pisau ini digunakan untuk memangkas bagian manggar (bakal buah) pohon yang nantinya akan mengeluarkan nira. Biasanya ada dua jenis palem yang bisa di ambil niranya, yaitu pohon kelapa adan pohon aren.

    Cimplung Singkong
    Kembali ke cimplung singkong, makanan ini dulu banyak dijumpai di Wonosobo, terutama di daerah kaliwiro, kalibawang, dan wadaslintang, karena wilayahnya dipadati dengan pohon kelapa serta umbi-umbian. Penulis masih ingat, sebelum tahun 2000an, tidaklah sulit mencari cimplung singkong, sebagian besar penderes membuatnya setiap hari sekedar untuk medang. Namun kian hari keberadaan cimplung kian sulit didapatkan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal:

    Pertama, berkurangnya area penanaman singkong serta peralihan fungsi lahan sebagai akibat dari tidak adanya jaminan harga singkong itu sendiri, harga rendah sementara masa tanamnya membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga bagi petani menanam singkong dianggap sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan.

    Kedua, rendahnya harga gula merah juga ikut andil dalam hal ini. Mengapa demikian? karena dengan rendahnya harga gula merah, maka para pengrajin gula menjadi semakin tidak tertarik menggeluti pekerjaannya, bukankah dalam sehari mereka harus memanjat sebanyak dua kali per satu pohon kelapa, padahal tinggi rata-rata tiap pohonnya mencapai 7-15 meter. Jika harga gula merah rendah maka tidak seimbang dengan jerih payah yang mereka kerjakan.

    Belum lagi risiko yang harus mereka hadapi, keselamatan jiwa sering menjadi taruhan. Dalam fakta banyak yang meninggal dunia karena terjatuh dari pohon kelapa, oleh karenanya para petani sedikit demi sedikit beralih profesi menjadi buruh, kuli, ataupun pedagang, bahkan tidak sedikit pula yang memilih bermigrasi ke luar daerah.

    Ketiga, bahan bakar juga menjadi satu ganjalan tersendiri, untuk memasak satu wajan besar air nira dibutuhkan waktu sekitar 3-4jam untuk bisa menghasilkan gula merah, tentu saja membutuhkan bahan bakar yang tidak sedikit. Dan mereka harus mengambil bahan bakar dari hutan, karena kalau menggunakan bahan bakar yang lain tentu mereka tambah merugi. Di sisi lain hutan-hutan kita sudah mulai gundul, sehingga persediaan kayu bakarpun berkurang.

    Keempat, kita menyadari bahwa usia pohon kelapa yang sudah tua dan berbatang tinggi memaksa untuk dilakukan penebangan, namun regenerasi pohon selanjutnya kurang diperhatikan, sehingga jumlah pohon kelapapun semakin berkurang, hal ini secara otomatis menguragi produksi nira sebagai salah satu bahan pemasak cimplung.

    Padahal jika cimplung ini dipertahankan dan dikelola dengan baik, tidak mustahil ia akan menjadi ikon tambahan bagi kota Wonosobo, dan tentunya akan membawa dampak ekonomi yang menguntungkan layaknya Getuk Goreng di Sukaraja, Purbalingga.

    Terakhir penulis berpesan, jika ingin kembali mengenang manisnya cimplung, diperlukan dukungan banyak pihak, terutama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah hendaknya memperhatikan harga komoditas gula merah dan buah singkong dengan baik, mencanangkan penanaman pohon kelapa, dan lain sebagainya. Jika hal tersebut sudah terwujud, maka langkah selanjutnya adalah pembinaan serta pendampingan kepada para pengrajin gula untuk mengembangkan cimplung.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Cimplung Singkong, Si Manis Yang Mulai Langka Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top