Iklan

Iklan

iklan

iklan
  • Berita Terkini

    Monday 21 September 2015

    Memuliakan Guru


    Oleh Slamet Faizi,S.Pd.,M.Pd
    Penulis adalah Dosen FITK Unsiq/Wakil Ketua PGRI Kabupaten Wonosobo

    Seorang guru yang baik tidak hanya sekadar mampu berhasil mengajarkan ilmu pengetahuan sains dan teknologi kepada peserta didiknya.  Tetapi lebih dari itu guru yang baik adalah seorang guru yang mampu mengamalkan ilmunya dan memberikan contoh serta keteladanan kepribadian kepada murid-muridnya.

    Tuhan sangat murka kepada seseorang yang hanya “jarkoni” ngajar tapi ora nglakoni pandai bicara beretorika tetapi tidak melakukan apa yang ia katakan. Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(QS. As-Shaff: 2-3).

    Imam Al-qurthubi rahimahullahu menafsirkan ayat ini : “Kata tanya ini datang dalam gaya bahasa mengingkari dan mengecam orang yang hanya berkata kebaikan namun dia tidak mengerjakan kebaikan tersebut, baik terhadap perkara yang telah berlalu maka dia dengannya telah berdusta atau terhadap perkara yang akan datang maka dengannya dia telah menyalahi janji dan kedua realitas ini tercela. (Kitab Tafsir Al-jami’ Liahkamil qur’an, 18/80).

    Kita sepakat dan yakin bahwa kewajiban setiap hamba untuk menutut ilmu sebab dengan dasar ilmu seseorang dapat beramal, berkarya, berkreasi, berinovasi dan memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain,ia tercatat menjadi seorang hamba yang cerdas terampil dan berakhlak. Ilmu tidak akan diperoleh tanpa dicari dan ilmu tidak akan didapat dengan baik tanpa adanya bimbingan dari guru. Tingginya kedudukan guru merupakan realisasi dari ajaran agama apapun dan keyakinan apapun, sebab agama memuliakan pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu didapat dari proses belajar mengajar dan proses itu harus menghadirkan guru.

    Tidak mungkin akan terjadi perkembangan pengetahuan sains dan teknologi tanpa adanya orang belajar ataupun orang yang mengajar serta interaksi antara keduanya, dan tak terbayangkan pula adanya belajar dan mengajar tanpa adanya bimbingan guru. Para ulama atau cerdik cendekia menyatakan bahwa guru merupakan pelita zaman. Andaikata di dunia ini tidak ada guru niscaya manusia seperti binatang sebab mendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari gulita dan sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah serta malaikatiyah bahkan ilahiyah.

    Seorang guru juga manusia biasa yang memiliki tanggungjawab duniawi kepada keluarganya dengan sejumlah kebutuhan dasar hidup yang harus dipenuhinya. Amanat Undang- Undang dan realitanya Pemerintah memang telah memberikan anggaran di APBN kepada sektor pendidikan sebesar 20 % agar kualitas pendidikan semakin baik dan kesejahteraan guru semakin meningkat tetapi kondisinya belum sepenuhnya begitu. Masih cukup banyak guru yang hingga kini hidup jauh dari sejahtera. Fakta hari ini menunjukkan bahwa profesi guru yang bergelar sebagai pahlawan itu belum dapat hidup sejahtera secara merata, apalagi nasib guru wiyata bakti atau guru swasta yayasan.

    Tuntutan tugas sebagai pendidik tidak berbanding lurus dengan penghargaan apalagi kesejahteraan hidup mereka. Banyak guru yang hidupnya pas-pasan sehingga banyak pula guru yang kerja sampingan dan berprofesi ganda. Muncullah istilah, guru ekonomi (guru yang nyambi berdagang), gujek  atau guru nyambi ngojek dan sebagainya. Semua itu terpaksa dilakukan demi memenuhi tuntutan hidup yang serba tidak pasti. Hal ini tentu akan berdampak kepada konsentrasi guru dalam proses belajar mengajar sehingga menjadi penghambat untuk melahirkan generasi gemilang yang menguasai sains dan teknologi, beriman serta bertaqwa.

    Sekedar ilustrasi  saja pada masa khulafaurrasyidin profesi seorang guru sangat dihargai. Ad-Dimsyaqi mengisahkan dari al-Wadliyah bin Ataha’ bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a memberikan gaji kepada 3 orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulannya (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan (dengan asumsi 1 gram emas seharga Rp 500.000), maka gaji mereka sebesar Rp 31.875.000. Dizaman Khalifah Harun Al-Rasyid para penulis berbagai bidang ilmu akan diberikan emas seberat buku yg ditulisnya. Sungguh fantastis bukan?

    Merujuk konsep menteri Anies Baswedan yang berpandangan bahwa pendidikan berkualitas atau pembelajaran berkualitas tidak akan benar-benar terwujud jika masyarakat, khususnya para pemegang kekuasaan tidak pernah berpikir untuk “memuliakan guru”. Pondasi awal untuk memuliakan guru sebenarnya cukup sederhana, yakni menanamkan mindset kepada semua elemen bangsa ini, bahwa sesungguhnya profesi guru adalah profesi penting.

    Jika para pemegang kekuasaan dan kebijakan memahami betapa pentingnya profesi guru, maka program “memuliakan guru” akan mudah digulirkan. Salah satu bentuk “memuliakan guru”, adalah: (1) Memberikan upah yang layak, (2) Pemberian tunjangan yang lebih dibandingkan dengan profesi pegawai pemerintah yang lain, (3) Pemberian insentif atau reward, (4) Perbaikan SDM guru, dan (5) Melakukan evaluasi kinerja guru berkala.

    Dalam konteks pemberian tunjangan atau insentif ini, pemberian tunjangan, insentif atau reward guru tersebut harus disesuaikan dengan aspek kinerja dan produktifitas, sekaligus berdasarkan kepada evaluasi berkala dan prosfesionalitasnya. Akhirnya jika posisi guru mulia, maka kemuliaan itu akan kembali lagi kepada bangsa ini.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Memuliakan Guru Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top