Direktur SI Wonosobo |
Direktur Serayu Institut (SI) Kabupaten Wonosobo, Najmu Tsaqif Ahda mengatakan, sebenarnya poligami itu diterapkan dalam pemasukan dana daerah. Karena, dana daerah itu memiliki istri-istri yang banyak, istrinya itu ada BUMD, Aset Daerah, Retribusi Pasar, Retribusi Parkir, Rumah Sakit, retribusi wisata dan istri simpanan lainnya.
“Untuk itu karena istrinya banyak, maka harus bisa adil dalam menyalurkan pembangunan dana daerah. Karena, kalau tidak adil membagikan dana daerah maka istri-istri lain akan memberontak,” terangnya ketika ditemui di rumahnya, Kamis (19/11/2015).
Menurutnya, melihat sumber pemasukan dana daerah dari puluhan pintu, maka penyebarannya juga harus merata. Sebab, selama ini ada kesan kurangnya pemerataan anggaran daerah. Misalnya, beberapa daerah kondisi jalannya masih dibiarkan rusak. Kemudian, fokus pembangunan dibeberapa titik saja. “Untuk itu ketika anggaran daerah memiliki sumber pemasukan dari berbagai pintu. Maka pembagiannya juga harus dilakukan secara merata. Tentunya, sesuai dengan prioritas yang sudah ditentukan,” terangnya.
Menurutnya, poligami dana daerah sudah menjadi kepastian. Karena, dana daerah tak mungkin hanya mengandalkan dari satu pintu saja.
“Poligami itu boleh, tetapi juga harus adil dalam memberikan kesejahteraan terhadap istri-istrinya. Begitupula dengan anggaran daerah, kepala daerah harus bisa menyelamatkan poligami anggaran. Artinya, kepala daerah yang terpilih bisa membagikan anggaran secara merata. Tidak tebang pilih terhadap pendukungnya saja,” tuturnya.
Menurutnya, dana daerah itu dijadikan pedoman oleh pemerintah daerah dalam mengatur penerimaan dan belanja untuk pelaksanaan pembangunan daerah sehingga kesalahan, pemborosan dan penyelewengan yang merugikan dapat dihindari.
Menurutnya, masih banyak istri-istri simpanan yang bisa dijadikan sumber pemasukan dana daerah. Tetapi, sampai saat ini belum dikelola dengan baik. “Sebenarnya sektor wisata menjadi salah satu istri dana daerah yang bisa meningkatkan pendapatan. Tetapi belum dikelola dengan maksimal,” tuturnya.
Menurutnya, banyak kasus penggunaan anggaran yang tidak memprioritaskan pada pengentasan kemiskinan dan ketertinggalan. Atau secara sistemik tidak berusaha melihat masalah sebagai masalah. “Contoh sederhana misalnya, mempercantik alun-alun untuk tujuan wisata, namun lupa dalam menata sistem dan objek wisata utama. Pembangunan yang tidak menyelesaikan masalah dan problem mendasar dalam masyarakat dapat dikatakan pembangunan yang menghasilkan sampah,” katanya. (Red-HW12/Foto: Harian Wonosobo).
0 komentar:
Post a Comment